A. Pengertian Motivasi Kerja
Menurut Harsey : motivasi
itu tidak terlepas dari adanya faktor pendorong (motif) mengapa manusia mau
berprilaku, berbuat, dan bertindak.
Faktor pendorong ini sering kali diidentikan dengan kebutuhan atau keinginan. Adanya
motif mengakibatkan munculnya motivasi. Kebutuhan atau keinginan yang dirasakan
oleh setiap pegawai berbeda-beda dan sifatnya sangatlah kompleks. Untuk
mengetahui kebutuhan apa yang diinginkan oleh para pegawai, maka terlebih
dahulu pimpinan perlu melakukan survei terhadap bawahannya.
Menurut Robbins: motivasi
adalah dorongan untuk melakukan sesuatu yang dikondisikan oleh kemampuan aksi
untuk memenuhi (memuaskan) berbagai kebutuhan individu.
Menurut Sharma: motivation
is will to work artinya motivasi adalah keinginan (dorongan) untuk bekerja.
Menurut Geherman: motivasi
adalah serangkaian aksi yang dapat merubah
kebiasaan seseorang. Dalam hal ini motivasi merupakan pendorong
seseorang untuk berbuat, bertindak, dan berprilaku.
Menurut Gibson: motivasi
adalah teori yang menguraikan tentang kekuatan-kekuatan yang ada dalam diri
karyawan yang memulai serta mengarahkan perilaku.
Menurut Saydam (200:326):
motivasi diartikan sebagai keseluruhan proses pemberian dorongan atau
rangsangan kepada para karyawan sehingga mereka bersedia bekerja tanpa dipaksa.
Menurutnya, dalam melakukan suatu pekerjaan, seseorang berbuat atau tidak
berbuat bukanlah semata-mata didorong oleh faktor-faktor ratio (pikiran) tetapi
juga kadang-kadang dipengaruhi oleh faktor-faktor emosi (perasaan).
Faktor-faktor ini perlu mendapat perhatian dalam pemberian motivasi, supaya
motivasi tersebut benar-benar menjadi tepat.
Menurut Rivai (2005:445):
motivasi adalah serangkaian sikap dan nilai-nilai yang mempengaruhi individu
untuk mencapai hal yang spesifik sesuai dengan tujuan individu. Sikap dan nilai
tersebutlah yang memberikan dorongan kepada individu untuk bertingkah laku
dalam mencapai tujuan. Untuk pencapaian tujuan tersebut motivasi memiliki suatu
siklus yang terdiri dari tiga elemen yaitu adanya kebutuhan (needs), dorongan untuk berbuat dan
bertindak (drives), dan tujuan yang
diinginkan (gools).
Hal ini diperkuat dengan
pendapat Luthans (1985:184) yang mengatakan bahwa proses motivasi dimulai dari
adanya kebutuhan, kemudian diikuti adanya dorongan, dan adanya tujuan yang
ingin dicapai. Kebutuhan mengakibatkan adanya dorongan untuk memenuhi kebutuhan
tertentu yang diinginkan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan yang
bersifat fisiologis (sandang, pangan,
papan), bersifat psikologis (kebutuhan akan harga diri), atau yang bersifat
sosiologis (kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain). Akibat kekurangan
yang dirasakan oleh karyawan, sehingga membuat mereka berusaha untuk
memenuhinya.
Menurut Stokes (1966:92)
bahwa motivasi adalah pendorong bagi seseorang untuk melakukan pekerjaannya
dengan lebih baik, juga merupakan faktor yang membuat perbedaan antara sukses
dan gagalnya dalam banyak hal dan merupakan tenaga emosional yang sangat
penting untuk suatu pekerjaan baru.
Berdasarkan pendapat dari
beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa motivasi itu adalah dorongan
dari dalam diri seseorang atau karyawan untuk mau berperilaki dan bekerja dengan
giat sesuai dengan tugas dan kewajiban yang telah diberikan kepadanya untuk
memenuhi berbagai kebutuhan atau tujuan yang diinginkannya (fisiologis,
psikologis, dan sosiologis) serta untuk mencapai tujuan yang ditetapkan bersama
dalam organisasi atau perusahaan di mana ia bekerja. Kuat lemahnya motivasi
sangat ditentukan oleh terpenuhinya harapan, keinginan, atau kebutuhan individu
(karyawan). Pemimpinlah yang berusaha untuk memahami berbagai jenis kebutuhan
dari para bawahannya. Kebutuhan mana yang lebih menonjol dan paling diinginkan
oleh bawahan, hal tersebut bertujuan untuk mengarahkan perilaku karyawan ke
arah pencapaian tujuan yang diinginkan.
B. Teori-teori Motivasi Kerja
Menurut pendapat Gibson (1989:91) menyatakan bahwa
teori-teori motivasi itu mengacu pada dua kategori yakni:
1.
Teori
kepuasan (content theories), yang
lebih memusatkan perhatian kepada faktor dalam diri yang menguatkan (energize), yang mengarahkan (direct), mendukung (sustain), dan menghentikan (stop)
perilaku para pegawai.
2.
Teori proses (proccess theories), yang menguraikan
dan menganalisis bagaimana perilaku itu dikuatkan, diarahkan, didukung, dan
diberhentikan.
Handoko (1986:255)
memberikan kategori teori-teori motivasi sebagai berikut: ada beberapa teori
motivasi yang termasuk ke dalam kategori teori kepuasan, yaitu teori hierarki
kebutuhan dari Maslow, teori dua faktor dari Herzberg dan teori prestasi dari
Clelland. Sedangkan yang termasuk ke dalam teori proses adalah teori harapan (expectancy theory), teori keadilan (equity theory) dan teori pembentukan
perilaku (operant conditioning).
Menurut Dharma (1987: 96)
mengelompokkan teori motivasi ke dalam dua sisi pandang yakni: teori kepuasan
dan teori proses.
a. Teori Kepuasan
1. Teori hierarki kebutuhan
Maslow
Menurut teori ini bahwa tingkah laku manusia pada waktu
tertentu diarahkan oleh kebutuhan paling kuat yang muncul pada waktu itu. Ada
lima tingkat kebutuhan manusia, bila tingkat pertama belum terpenuhi, maka
segala usaha manusia ditujukan untuk memenuhi kebutuhan itu terlebih dahulu.
Hal itu merupakan motivator aktif. Bila kebutuhan tingkat pertama itu telah
terpenuhi barulah diikuti oleh kebutuhan tingkat-tingkat berikutnya, begitulah
seterusnya sampai kebutuhan pada tingkat ke lima.
Adapun jika diuraikan lima tingkatan kebutuhan menurut
Maslow adalah sebagai berikut: 1) kebutuhan yang bersifat fisiologis (physiological needs), 2) kebutuhan rasa
aman (safety needs), 3) kebutuhan
sosial (social needs) yang meliputi
kebutuhan perasaan diterima oleh orang lain, perasaan ingin dihormati, perasaan
maju dan tidak gagal, kebutuhan untuk ikut serta dalam organisasi, dsb. 4)
kebutuhan akan prestise (esteem needs)
yaitu kebutuhan akan status yang diduduki oleh seseorang, 5) kebutuhan
aktualisasi diri atau mempertinggi kapasitas kerja (self aktualization) yaitu kebutuhan untuk mengembangkan kapasitas
mental karyawan melalui on the job training, seminar, lokakarya, dsb.
2. Teori ERG dari Alderfer
Teori ini hampir sama dengan teori Maslow dan teori dari
Herzberg. Teori ini mengemukakan bahwa ada tiga kelompok kebutuhan utama yakni:
1) kebutuhan akan keberadaan (existence)
atau disingkat “E” yakni kebutuhan untuk bertahan hidup, hampir sama dengan
kebutuhan fisik dan psikis yang telah disebutkan di atas yang pemenuhan
kebutuhannya dipuaskan oleh uang (upah) yang diterima dari pekerjaan nya, 2)
kebutuhan akan afiliasi (relationship)
atau disingkat “R” yakni kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan orang lain (sesama)
dengan melaksanakan hubungan sosial atau bermasyarakat dan bekerjasama dengan
orang lain, 3) kebutuhan akan kemajuan/pertumbuhan
(growth)
atau disingkat “G” adalah suatu kebutuhan intrinsik dari seseorang untuk dapat
mengembangkan diri dan potensinya.
3. Teori motivasi prestasi
dari Clelland
Teori ini mengatakan bahwa” seorang pekerja memiliki
energi potensial yang dapat dimanfaatkan tergantung pada dorongan motivasi,
situasi, dan peluang yang ada. Kebutuhan pekerja yang dapat memotivasi gairah kerja
adalah kebutuhan akan prestasi, kebutuhan afiliasi, dan kebutuhan akan
kekuasaan. Ketiganya sangat penting untuk menentukan prestasi seseorang
(karyawan) dalam bekerja. Menurutnya bahwa manusia pada dasarnya memiliki
kemampuan untuk berprestasi di atas kemampuan orang lain. Menurutnya, teori ini
berkaitan erat dengan konsep belajar untuk dapat lebih berprestasi dalam
pekerjaannya dan dapat melebihi orang lain. Energi potensial yang dimiliki oleh
seseorang hanya dapat dimanfaatkan jika bergantung pada tiga hal yakni
motivasi, situasi dan peluang yang ada.
Menurut Murray dan Winardi, ada tiga ciri umum seseorang
yang termotivasi untuk berprestasi yakni: 1) menyukai tugas-tugas dengan
tingkat kesulitan moderat, 2) menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka
timbul karena upaya-upaya sendiri dan bukan karena faktor lain seperti
kemujuran, 3) menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan
pekerjaanya. Orang yang termotivasi akan tertantang menerima tugas yang sulit
dan akan berusaha melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab dan maksimal.
b. Teori Proses
1. Teori pengharapan (Expectancy theory)
Menurut pendapat Vroom (1964) bahwa: “seseorang bekerja
untuk merealisasikan harapan-harapannya dari pekerjaan itu.” Ada tiga komponen
utama dalam teori ini antara lain: 1) harapan (expectancy), adalah suatu kesempatan yang disediakan dan akan
terjadi karena berperilaku. 2) pertautan
(instrumentaly), yakni besarnya
kemungkinan jika bekerja secara efektif apakah akan terpenuhi keinginan dan
kebutuhan yang diharapkan. 3) valensi (valence),
yakni mencerminkan referensi-referensi pribadi.
Teori ini berpendapat bahwa pegawai (karyawan) akan
termotivasi untuk bekerja dengan giat dan baik jika mereka yakin dari
prestasinya mereka akan mengharapkan imbalan yang besar (kenaikan gaji,
pangkat, atau jabatan). Hal tersebutlah yang menjadi perangsang (stimulus) untuk lebih giat dalam
bekerja.
Menurut Vroom (dalam Winardi, 2004:104) bahwa ekpektansi
berhubungan erat dengan valensi tdan bisa bernilai positif ataupun negatif.
Positif berarti adanya kemungkinan bahwa suatu hasil akan muncul sesudah
tindakan tertentu dilakukan. Sebaliknya, negatif bila menunjukkan tidak adanya
kemungkinan bahwa suatu hasil akan tercapai sesuadah tindakan tertentu.
2. Teori pembentukan
perilaku
Teori ini berasumsi bahwa perilaku pegawai dapat dibentuk
dan diarahkan ke aktivitas pencapaian tujuan. Menurut Skinner (dalam Handoko,
1984:204) bahwa teori ini sering pula disebut dengan istilah lain seperti Behavioral
modification, Positive Reinforcement, Skinnerian Conditioning. Pendekatan
perilaku didasarkan pada hukum pengaruh (law
effect), yakni perilaku yang diikuti konsekuansi pemuasan cenderung akan
diulang, sedangkan perilaku dengan konsekuensi hukuman tidak akan diulang.
Begitu juga perilaku pegawai di masa yang akan datang dapat diperkirakan dan
dipelajari berdasarkan pengalaman-pengalaman di waktu yang lalu.
3. Teori keadilan (Equity theory)
Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa pegawai akan
termotivasi untuk bekerja dengan giat apabila diperlakukan secara adail dalam
pekerjaannya. Menurut Dharma (1987:151) mengatakan bahwa keadilan adalah
sesuatu yang muncul dalam pikiran seseorang jika ia merasa bahwa rasio antara
usaha dan imbalan yang diterima adalah seimbang dengan rasio seseorang yang
dibandingkan. Ketidakadilan akan ditanggapi dengan berbagaimacam perilaku yang
menyimpang dari aktivitas pencapaian tujuan misalnya menurunkan prestasi,
mogok, malas, dsb.
Inti dari teori ini adalah pegawai akan membandingkan
usaha mereka terhadap imbalan yang diberikan dengan imabalan yang diterima oleh
pegawai lainnya dalam situasi kerja yang relatif sama. Jika mereka telah merasa
mendapatkan keadilan, maka mereka akan termotivasi untuk menginkatkan hasil
kerjanya. Namun teori ini memiliki kelemahan, yakni adanya ketidakjelasan
mengenai orang yang dijadikan pembanding. Apakah orang yang dijadikan
pembanding tersebut berada pada organisasi yang sama atau berganti selama masa
karier kerja yang bersangkutan.
C. Tujuan dan faktor-faktor Motivasi Kerja
1. Tujuan Motivasi Kerja
Menurut Syahdam (2000:328) bahwa tujuan
motivasi kerja itu adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengubah perilaku
karyawan sesuai dengan keinginan perusahaan
Pemberian motivasi kepada
karyawan itu harus memperhatikan segala kelebihan, keterbatasan dan
kekurangan-kekurangannya. Pemberian motivasi harus tepat sasaran sehingga
diharapkan para pegawai tersebut bukan hanya asal mau bekerja, tetapi yang
terpenting pekerjaan tersebut sesuai dengan apa yang diinginkan oleh organisasi
atau perusahaan.
b. Meningkatkan gairah dan
semangat bekerja
Kondisi mental dan psikis pegawai sangatlah berpengaruh
terhadap produktivitas kerja. Mental pegawai yang labil karena disebabkan oleh
berbagai persoalan yang dialaminya akan berpengaruh negatif terhadap
kinerjanya. Begitu pula perlakuan yang baik dan wajar yang diberikan kepada
para pegawai sangat berpengaruh besar terhadap produktifitas mereka dalam
bekerja dibandingkan dengan pemberian upah atau gaji yang tinggi. Karena faktor
pendorong motivasi bukan hanya rasio tetapi juga emosi (perasaan).
c. Meningkatkan disiplin kerja
Pemimpin
organisasi sebelum memberikan motivasi kepada para karyawannya hendaknya
terlebih dahulu memahami apa yang menjadi motif para pegawai (karyawan) tersebut sehingga
mereka mau bekerja dengan baik. Sangat dituntut kemampuan pimpinan dalam hal
mempengaruhi dan meyakinkan para pegawainya, menjalin kedekatan, berkomunikasi
dan bergaul dengan para pegawai yang akan diberi motivasi, sehingga proses
pemberian motivasi tersebut bisa sukses serta mampu meningkatkan kedisiplinan
para pegawai dalam bekerja sesuai dengan kesadaran pegawai yang bersangkutan.
d. Meningkatkan prestasi kerja
Seorang
pimpinan harus terus mencoba mendorong bawahannya untuk memiliki prestasi yang
lebih baik. Prestasi yang dicapai bukan hanya sekedar memotivasi pegawai tetapi
juga dapat menguntungkan organisasi atau perusahaan dalam usahanya meningkatkan
produktivitas.
e. Meningkatkan rasa tanggung jawab
Para
pegawai yang bekerja dalam suatu organisasi atau perusahaan pada suatu waktu
ingin dipercaya memegang suatu tanggung jawab yang lebih besar. Tanggung jawab
tersebut bukan saja atas hasil pekerjaan yang baik tetapi juga tanggung jawab
berupa kepercayaan yang diberikan sebagai orang yang mempunyai potensi. Karena
pada dasarnya setiap pegawai ingin diikutsertakan dan ingin diakui sebagai
orang yang mempunyai potensi. Dengan mengikutsertakan pegawai dalam kelompok
gugus kendali mutu, sedikit banyak mereka akan lebih termotivasi.
f. Meningkatkan
produtifitas dan efisiensi
Tidak
ada pegawai yang senang bekerja di tempat yang membosankan, meresahkan, serta
membahayakan kondisi jiwa mereka. Kondisi tempat bekerja juga amat menentukan
gairah kerja para pegawai. Jika tempat bekerja cenderung memiliki suasana yang
menyenangkan maka setiap pegawai akan cenderung termotivasi untuk lebih giat
bekerja. Namun jika sebaliknya, tentu akan menguirangi atau menurunkan prestasi
kerja para pegawai dan juga akan dapat menurunkan tingkat produktifitas dan
efisiensi pada organisasi atau perusahaan tersebut.
g. Menumbuhkan loyalitas karyawan pada perusahaan
Motivasi
merupakan modal utama timbulnya loyalitas pegawai terhadap organisasi atau
perusahaan. Bila motivasi melemah, maka loyalitas juga akan merosot. Para
pegawai yang memiliki motivasi tinggi cenderung mempunyai loyalitas yang
tinggi. Adapun berbagai sebab rendahnya loyalitas antaralain sebagai berikut:
1) rendahnya motivasi kerja pegawai, 2) struktur organisasi kurang jelas
sehingga tugas dan tanggung jawab menjadi kabur, 3) rancangan pekerjaan yang
kurang baik, sehingga dirasa kurang cukup menantang, 4) rendahnya kualitas
manjemen, terlihat pada kurangnya perhatian terhadap kepuasan masyarakat, 5)
rendahnya kemampuan kerja atasan, yang tidak dapat mendukung keberhasilan
kerjasama tim, 6) kurang terbukanya kesempatan untuk mengembangkan karier, 7)
sistem kompensasi yang kurang menjamin ketenangan kerja, 8) waktu kerja yang
kurang fleksibel.
2. Faktor-faktor Motivasi Kerja
Menurut
Saydam (2000:370) bahwa motivasi sebagai
proses psikologis dalam diri seseorang akan dipengaruhi oleh beberapa faktor
anatara lain sebagai berikut:
a. faktor intern (yang terdapat dalam diri
karyawan) yang meliputi tingkat kematangan pribadi, tingkat pendidikan,
keinginan dan harapan pribadi, kebutuhan, kelelahan dan kebosanan, serta
kepuasan kerja.
b. faktor ekstern (yang berasal dari luar
karyawan). Faktor lingkungan pekerjaan yang ada disekitar pegawai yang sedang melakukan
pekerjaan dapat mempengaruhi pelaksanaan pekerjaan itu sendiri. Lingkungan
kerja tersebut meliputi: tempat bekerja, fasilitas, alat bantu pekerjaan,
kebersihan, penerangan, ketenangan, termasuk hubungan kerja dengan orang-orang
yang ada di sekitar tempat kerja. Lingkungan yang mendukung akan memberikan
motivasi bagi pegawai untuk bekerja dengan baik. Sebaliknya lingkungan yang
kurang mendukung cenderung menimbulkan perasaan bosan, cepat lelah, dan dapat
menurunkan daya kreativitas pegawai.
Kedua faktor tesebut harus berjalan secara
seimbang. Ketidakseimbangan dapat terlihat dari sering resahnya atau gejolak
para pegawai, salah satu contohnya adalah munculnya kasus unjuk rasa,
pemogokan, dll. Hal ini sebagai gambaran adanya ketidakberesan dalam organisasi.
Jika organisasi memperlakukan pegawai dengan baik serta memenuhi hak-hak
pegawai, tentunya tidak akan timbul keresahan yang dapat merugikan keduabelah
pihak.
D. Harapan Karyawan dan Teknik Pemberian Motivasi Kerja
1. Harapan Karyawan Terhadap Pemberian Motivasi Kerja
Berdasarkan
pendapat para ahli, harapan bawahan (pegawai) dalam bekerja adalah sebagai
berikut: a) Jenis dan sifat pekerjaan yang menantang. Hal ini dapat menggugah
dan menggali potensi pegawai untuk bisa melakukan pekerjaan sebaik dan secepat
mungkin, b) lingkungan pekerjaan yang menyenangkan, 3) adanya kesempatan untuk
berpartisifasi, 4) hubungan kerja kelompok yang harmonis, 5) penghargaan atas
prestasi, 6) penerapan disiplin kerja yang tidak kaku, 7) tingkat kompensasi
yang memadai.
Untuk
meningkatkan partisipasi pegawai dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai
berikut: a) mengikutsertakan mereka dalam proses pengambilan keputusan, b)
meminta tanggapan atau komentar mereka atas program yang akan disusun, c)
menginformasikan umpan balik kepada mereka atas hasil pekerjaan mereka sendiri,
d) meningkatkan pelimpahan wewenang dan tanggung jawab sesuai dengan bidang
masing-masing, e) memberi kesempatan kepada mereka untuk ikut serta memiliki
saham perusahaan (kalau organisasi swasta).
Beberapa
keuntungan yang bisa diraih organisasi dengan partisifasi pegawai antara lain:
a) dapat memperoleh informasi-informasi yang berharga untuk bahan pembuatan
keputusan, b) kesalahfahaman dalam menafsirkan suatu keputusan dapat lebih
diperkecil, c) konsep yang disusun dapat mendekati kebenaran di lapangan, d)
para pegawai merasa komit dengan keputusan yang dijalankan.
2. Teknik Pemberian Motivasi Kerja
Saydam
(2000:396) mengemukakan bahwa pemberian motivasi kerja adalah cara-cara atau
kiat-kiat yang dianggap paling tepat untuk memberikan motivasi kerja, sehingga
para pegawai yang bersangkutan mau bekerja sesuai dengan yang diharapkan oleh
organisasi atu perusahaan. Teknik tersebut tergantung pada kemampuan setiap
pemimpin dan amat ditentukan oleh kondisi dan situasi operasional di lapangan
serta sasaran diberikannya motivasi itu sendiri.
Menurut
Ranupandoyo (dalam Saydam, 2000:396), teknik pemberian motivasi itu dapat
dibedakan menjadi dua macam yakni antara lain:
a. teknik motivasi positif
Merupakan
pemberian motivasi kerja kepada para pegawai dengan cara mempengaruhi mereka
untuk melaksanakan pekerjaan. Teknik ini digunakan melalui pemberian semua
imbalan (reward) yang menguntungkan pegawai, sehingga dapat menimbulkan gairah
dan semangat kerja untuk berprestasi.
b. teknik motivasi negatif
Di
sini para pegawai dipengaruhi untuk melaksanakan pekerjaan melalui penggunaan
kekuatan (power) yang menakutkan para pegawai. Motivasi berupa ancaman dengan
pemberian sanksi bagi siapa saja yang tidak mau bekerja dengan giat. Memang
dengan cara ini prestasi dapat meningkat namun hanya dalam jangka waktu yang
pendek. Dalam situasi ini semangat dan gairah pegawai sangat menurun. Mereka
bekerja hanya karena terpaksa, selama sumber ancaman itu ada. Namun jika sumber
ancaman tersebut sudah tidak ada lagi, maka prestasi kerjapun akan kembali
menurun.
Pemberian
teknik motivasi amat ditentukan oleh kondisi dan tipe pegawai yang dihadapi.
Jika pegawai tersebut bertipe X maka teknik motivasi negatiflah yang bisa
digunakan namun bukan untuk selamanya. Tapi bila pegawai tersebut bersifat Y,
maka teknik motivasi positiflah yang paling tepat.
1 comment:
Terimakasih banyak buat postingannya.
cukup membantu :)
Post a Comment